Senin, 14 Maret 2011

Cerpen Times Promise


Dia berpelukan. Tangan kanannya sibuk merangkul pinggang wanita dengan erat. Wanita itu kini membalas pelukan pria. Tak kalah erat. Bagian depan tubuh mereka kini tengah beradu. Saling tekan satu sama lain.

migration bird

Kehangatan itu mengalahkan dinginnya udara. Tumpukan benda putih di sekeliling mereka tengah meng-cover seluruh warna-warna indah. Tapi ini setting yang pas, untuk momen seperti ini. Burung yang ber-migrasi melambai kearah mereka. Tapi mereka terbenam, di lautan kebahagiaan dalam kehangatan yang nyaman.

Kepala mereka kini terangkat dari kesunyian. Mata mereka bertemu. Ada suatu atmosfer aneh, yang membuat wajah mereka semakin mendekat. Engahan nafas satu sama lain terasa. Debarnya cukup kuat, untuk meletuskan gunung merapi dalam otak mereka. Otak yang penuh gunung gejolak nafsu. Wajah keduanya memerah. Mata mereka kini memberat, menutup, tapi wajah mereka tetap tertarik satu sama lain. Bibir mereka hangat, bertemu, dan membiarkan diri mereka menikmati saat-saat itu.

Brak!

“Kennnnyyyyy!” semua bayangan tadi hilang. Buku melesat, meluncur menuju dinding olive-green pucat. Kenny, tersentak. Tubuhnya terjungkal dari kursinya. Dia jatuh, bersatu dengan kamarnya yang hancur, bersama undershort, jeans, kaos 347, berbagai merchandise, DVD film, buku-buku mulai dari novel, komik, intisari rumus-rumus dan....buku ‘1002 sms Error se-Jawa Barat’ -yang kini berada tepat di bawah kakinya-.

Buku yang baru ia baca, sudah berada di tangan sang Monster Kelamin nomor 1 seantero Karang Pawitan. Dibaca, dan dibuang seketika. Tak tahu kenapa, Kenny memandang ngeri buku yang baru dibelinya dengan sisa uang saku setengah tahun, merasa buku itu menangis. Menjerit-jerit. Histeris. Memang gila, pikirnya. Namun siapa sangka, buku itu mengeluarkan setitik air mata buku yang tak akan pernah bisa dilihat semua makhluk, termasuk buku itu sendiri walau buku itu bukan makhluk.

“Kampret, Lu!” Kenny tak kalah dalam hal membentak membabi buta. Duk!  Secepat percepatan gravitasi, buku sudah menempel, merebahkan tubuhnya yang keras di wajah Kenny. Alhasil, wajah merah mantap.

“Sopan dikit napa? Abang lu, nih!” sengitnya, menunjuk dirinya sendiri. Wajahnya sedikit lebih garang dari Kenny, dan lebih tampan tentunya. Struktur badannya proporsional, berotot pula, namun tetap saja. Dia orang gila.

Tak sabar menunggu hingga bedug subuh, dia langsung menggapai kaki Kenny, menyeret Kenny hingga ruang makan. Sinting. Kenny mengaduh-aduh, meronta-ronta, berteriak histeris, tapi saat sepertiga perjalanan menuju ruang tamu, Kenny terpaksa surrender.

Kenny kini bebas seutuhnya. Kakinya tak lagi dicengkeram monster itu. Saat ia berusaha bangkit, dia melihat sebuah tangan menjulur. Seperti peminta-minta. Tapi dia cantik. Bukan meminta-minta, dia hanya ingin membantu Kenny untuk bangkit.

Fabulous! Momen yang sangat tidak pas. Diseret monster dan disaksikan mahluk cantik dari planet venus itu. Wajah Kenny merah mantap. Bukan sakit, tapi malu menjadi sebuah obyek pertunjukan sirkus tingkat gila. Perfect!

“Lama enggak ketemu, Ken.” Buka perempuan itu dengan senyum mengembang. Cantik, dan manis.  Kulitnya putih pribumi asli. Rambutnya dilihat-lihat masih persis seperti dulu, rambut Britney style. Badannya ramping sempurna untuk seusianya, dan sedikit tinggi. hampir menyamai Kenny. Mungkin karena dia memakai high heels.

“Marie? Marie Santiago?” tanya Kenny memastikan, dan tak bisa menutupi rasa kagetnya. Mulutnya setengah terbuka. Perempuan itu mengangguk. Benar. Dia adalah Marie Santiago. Teman, sekaligus pengisi hatinya saat masa putih merah. Tapi akhirnya dia dapat merubah air mukanya, kembali seperti yang biasa ia tunjukan saat ia di rumah, terkecuali pada ibunya. Sedikit angkuh, dengan tatapan datar.

“Kenapa?” Marie merasakan ada perubahan raut di wajah Kenny.

“Ga apa-apa. Kapan kamu ke sini?” Kenny berbasa-basi dengan acuh tak acuh, mencoba menghargai kehadiran Marie. Ada perbedaan pemakaian kata untuk perempuan dan laki-laki dalam kamus Kenny. Setolol apapun, seangkuh, sekasar apapun, Kenny tetap menghargai perempuan. Tapi dia memang tolol, dalam artian tertentu.

“Kemarin sore. Aku ke sini mau main aja. Udah lama ga liat kamu.  Kamu tambah...keren.”senyum meledek menempel di mukanya yang cantik. Sudah lama Kenny rindu wajah itu. Tapi, Mari bertambah cantik. Dulu dia biasa saja. Tapi, ya begitulah pikirnya.

“aku udah engga kayak dulu.” Timpal Kenny datar. Dia bergegas menuju kulkas. Tepat beberapa meter ke arah tenggara tempat ia berdiri. Kulkas itu besar, dengan dua pintu. Warnanya yang mewah membuatnya begitu menyatu dengan segala benda yang tertata rapi, dalam ruang makan yang didesain dengan nuansa  Italian Home.

Dia membuka pintu kulkas bagian bawah, dan merogoh sesuatu. Tak lama ia berbalik. Kini ia menggenggam Susu Ultra rasa Strawberry favorit Marie.

“Nih. Kamu haus ga? Kalo engga, aku balikin.”

“Makasih. Kamu ko inget aku suka minum ini?”

“Just my feeling.” Katanya datar. “Ayo, kalo mau duduk. Aku ga yakin kamu kuat berdiri lama-lama.” Seraya berjalan, Kenny tersenyum. Untung saja dia memunggungi Marie. Jadi Marie tak bisa melihat kebahagiaan Kenny. Kenny sangat senang. Sangat. Tapi monster membuat semuanya...kacau. Dia kini tengah berdiri kokoh, memegang segelas Susu Ultra Full Cream hambar di tangan kanannya. Ia teguk sedikit sebelumnya, dan kembali memandang dua bocah yang berjalan ke arahnya.

“Heh, bocah. Ngapain lu senyum-senyum sendiri. Sambil jalan lagi. Ooo, gua tau. Mentang-mentang mantan cewenya dateng.” Sindir monster. Dia tengah memantik api peperangan kedua pagi ini.

“Berisik lu, Shimonster.” Timpal Kenny pada kakaknya.

“Nama gua Shimon, Kenniak.” sengit kakaknya. Shimon. Itulah nama sang Monster Kelamin nomor 1 seantero Karang Pawitan.

“Oooh, Ketek. Lucu banget sih, Monster...ketawa ga ya...?” dengan gaya yang menghina. Dia tetap jalan. Lurus. Menuju kursi yang hanya berjarak kurang lebih 10 meter lagi. Marie tertawa kecil melihat kelakuan keduanya. Sudah lama Marie tak melihat aktivitas langka seperti ini sejak 7 tahun lalu.

Ruang keluarga. Di rumah ini ruang keluarga terasa nyaman. Walau tak ada perapian, ruang keluarga memancarkan aura hangat dan kenyamanan yang luar biasa. Mungkin karena arsitekturnya yang bernuansa yunani ini dapat memanjakan indera penglihatan. Salah satu pendukungnya lagi, yakni penataan furniture yang rapi dan tertata rapi mengikuti arsitekturnya.

Dengan satu pencetan tombol dari remote yang Kenny genggam, dentuman musik Bad Romance dari Lady Gaga menggetarkan seisi ruangan. Ruangan itu kini terlihat salah kostum. Saat berbalik badan dari arah pandangan menuju Sound System, dengan cepat dan lugas Marie mencuri remote itu dan menekan lagi tombol tadi, hingga lagu Rock Show-nya Lady Gaga menggantikan lagu sebelumnya, untuk menggemakan isi ruangan. Ia tekan lagi, Unfaithful milik Rihanna mengalun, membuat sisi ruangan aman dari dentuman not balok yang sedari tadi menabrak-nabrak, hingga semua furniture berjingkat aneh memudar. Namun nuansa musik itu begitu miris, kelabu akan cinta. Seperti yang kini langung Kenny rasakan.

“kenapa kamu kayak yang setengah acuh sama aku?” tanyanya sedikit miris. Marie yang bertanya. Kepada Kenny tentunya. Tak ada siapapun kecuali sepasang insan, yang telah lapuk dalam kurun waktu 7 tahun. Menyesali waktu, selama ribuan jam, jutaan detikan jarum jam, serta trilyunan bulir pasir.

“engga, cuma perasaan kamu aja  kali. Memang gini kan sifat aku?” bantahnya

“kamu masih benci ama aku?” kini lagu Unfaithful begitu menusuk-nusuk suasana. Semakin kelabu.

Kelebatan peristiwa-peristiwa yang sudah lama terkunci rapat, terbelenggu untuk tidak memberontak, memuntahkan diri keluar belenggu, kini terbebas juga. Perasaan sakit itu muncul lagi. Kenny kini lebih tersiksa, dari Marie, yang kini sudah memuntahkan setitik air matanya. Karena masa lalu. Semu itu karena masa lalu yang...tak bisa ia rubah. Tentang apa yang ia sesali, ia benci dan ia muak.

“kita masih SD waktu itu. Udah lupain aja. Toh, aku ga keberatan kamu sama dia. Sampe sekarang masih langgeng, kupikir.” Jawabnya, menahan segala luapan emosi. Emosinya sudah ia latih selama bertahun-tahun belakangan ini. Untuk bisa menahan kemarahan, untuk tidak meneteskan air mata, untuk tidak memperlihatkan emosi apapun. Pada semua orang, termasuk keluarganya. Juga sang Monster Kelamin nomor 1 seantero Karang Pawitan.

“aku...putus.” memecah keheningan, suara itu bergetar pelan, menyeruak dari balik bibir Marie yang mungil.

Lagu berganti. I Think I Love You, salah satu soundtrack drama Korea Full House kini mengalun. Menciptakan atmosfer baru di ruangan itu. Kenny tersentak. Tapi tak terlihat oleh siapapun, karena ia sangat pandai mengatur emosinya. Hatinya senang, hanya saja ia berfikir ini mungkin hanya sesaat. Tatapannya berubah sinis. Ia menatap tajam ke arah Marie. Memandangnya, memburu setiap kedipan yang terihat.

“lalu?” dengan ini, Kenny baru saja menembus dada Marie dengan sebuah kata tanya dengan nadanya yang mencemooh, begitu menyakitkan. “oooh, jadi kamu ke sini cuma mau ngasih tau aku, kalo kamu...putus?” penekanan pada kata putus makin membuat Marie hancur. Ditambah pandangan dan nada bicara Kenny yang semakin mencemoohnya,  Marie sangat kehilangan akal.

“kamu kira aku seneng dengan semua berita yang sangat baik ini? Kamu ngomong sama orang yang salah. Sangat salah!” Kenny telah selesai dan menutup rapat bibirnya, agar perkataan yang semakin fatal tidak menyeruak dari balik bibirnya itu.

Wajah cantik itu telah kusut. Wajah mulusnya berubah drastis. Merah padam, tergenang air mata pula. Matanya pun merah. Marie berbalik,  dan berusaha menyisakan sedikit tenaga untuk menggerakkan bibir.

“nanti...a-aku bakal...main lagi kesini. Bye...” getaran itu berdengung jelas di telinga Kenny. Terdengar jelas, walau musik RnB begitu kentara berdentum. Tapi, Kenny pun sadar, bahwa dirinya pun sama hancurnya.

Malam begitu sunyi. Ditambah hatinya yang hancur. Temannya hanyalah kamar dan isinya, serta Blackberry Curve yang setia menemaninya. Memandang setiap sudut ruangan, dan selewat menembus jendela. Di luar jendela, burung hantu beruhu-uhu. Tapi tetap tak menghiburnya yang masih menatap ke luar jendela. Bulan hanya terlihat separuh, sisanya mungkin ditelan langit, dan akan dimuntahkan seluruhnya saat tanggal muda tiba. Ia beralih meraih gitar akustik favoritnya. Mulai memetik dawai-dawainya, memulai untuk mengurangi rasa bersalahnya. Lagu yang pernah ia ciptakan untuk memenuhi tugas Kesenian. Dengan jendela yang terbuka, angin yang menyambutnya, dia membuat kata-kata yang sudah tersusun mengalun indah,  melompat-lompat keluar dari bibirnya.

Andai kau sebaik itu

Semua mungkin tak salah

kita bersama sekarang

Tanpa waktu yang ingkar janji

            Namun, waktu memanglah kejam

            Kita dicelahkan dan terbatas

            Hingga kita tak lagi harmoni

            Dalam simfoni kebahagiaan

Sungguh itu bukan maksudku

Lukai dan berikanmu hancur

Tapi aku mungkin lelah

Dengan waktu yang lupa diri

            Ku pikir kita mungkin bisa

            Tapi mungkin pula terlambat

            Biarkan waktu meminta maaf

            Dan buat kita kembali

Sekian lama emosinya terbendung, Kenny menyerah untuk kali ini. Wajahnya sedari tadi terus digenangi air matanya, yang telah turun dengan ganas. Ia menyanyi dengan getir, sebenarnya. Malam itu, malam senin. Besok waktunya memulai semester genap, sekaligus akhir masa putih abu-abunya. Tak apa malam ini dia menangis. Membiarkan waktu yang meronta, meminta maaf kepadanya.

BRAK! Pintu terbanting keras, itu tandanya Shimonster memenuhi tugasnya membangunkan Kenny. Nyawa Kenny yang masih melayang-layang ditinju oleh aura ganas Shimon. Shimon mendekat, sedikit tergesa-gesa menuju Kenny yang masih terbaring mengantuk. Mencoba menarik seluruh kelopak matanya, namun Kenny masih lemas, juga setengah sadar. Ada yang lain, kakaknya biasanya tak seperti ini dia bisa melihatnya walau pandangannya berbayang, menggandakan segala benda yang ada di ruangan itu. Wajah Shimon merah padam. Seperti marah telah dipeloroti celananya pada pesta piyama. Namun lebih garang.

“lu apain si Marie? Lu apain?” geramannya yang tajam, membuat Kenny mau tak mau menguatkan diri mengangkat badannya untuk bangun dari kasur yang nyaman.

“gua...” tak sempat ia bicara, Shimon langsung meremas kerah kaos 347 hijau tua favorit Kenny keras-keras. Mengangkat tubuh Kenny dengan tangan masih menempel pada kerah leher adiknya, untuk memberikannya sedikit pelajaran. Tapi niat itu di urungkan. Dilepaskan genggamannya, hingga tubuh Kenny bebas dan terjerembab di kasurnya lagi.

“Sorry, ga usah dipikirin. Lu ga akan bisa ngerti karena lu ga mungkin tau...” Shimon berbalik dan bergegas keluar ruangan. Mungkin kakaknya benar. Dia mungkin ga akan bisa ngerti. Dan ga akan tahu apapun. Tapi, Kenny tak peduli.

SMAN 1 Karawang. SMA Negeri RSBI pertama di Kota Karawang. Bangunan tak terlalu megah, namun kualitas siswa sangat megah. 

“Stop! Mana SIM kamu?” petugas keamanan ini memang sangat terlaten dalam menangani soal seperti ini. Siapa yang tidak membawa SIM dilarang keras parkir di wilayah SMA yang kerap di panggil SMANSA ini.

“Pak, kan bapak udah tau saya punya SIM...” jawab Kenny, dengan tatapan memohon.

“Ga bisa! Mana, kasih liat SIM-nya!”

“Ugh, ribet amat udah tau juga. Nih, pak.” SIM berfotokan Kenny diperlihatkan. Dan dia boleh masuk.

Ia langsung melesat, mengambil tempat parkir strategis. Helm INK Maroon Red-nya ia bawa. Tak mau ambil risiko merelakannya dicuri orang lain. Itu Helm Favoritnya, yang terkumpul dari uang saku yang ia sisakan sepanjang liburan.

            Ia sekarang meggiring tubuhnya dengan semangat Rambo, menuju kelas tempatnya bertapa selama satu setengah tahun belakangan  setelah penjurusan akan bertapa di kelas IPA atau IPS. Kelas yang cocok untuknya sebagai orang yang tidak berguna. Langkahnya dipercepat. Ia melintasi pintu resepsionis, sekilas melirik papan bertuliskan:

Teachers and Visitors Only

Mood-nya berubah. Sedikit terusik dengan keberadaan papan itu. Tapi dia lebih memilih bergegas dari tempat itu. Kembali ke tujuan utama, Rumah Kedua.

Hari Senin, rutin di seluruh sekolah di Inonesia mengadakan Upacara. Begitu juga SMANSA.  Jadi, hari Senin wajib upacara. Makin dipercepat langkahnya, setengah berlari sambil menggenggam kait Helm-nya, agar tak terlambat bersiap diri untuk Upacara Bendera. Ia kembali melewati gerbang masuk sekaligus tempat pengecekan kendaraan bermotor tadi.

Dari situ, lapangan basket serta kantin dapat terlihat jelas. Kolam ikan pun terlihat di bawah pohon mangga yang sedikit besar, yang juga di sebelahnya terdapat pohon beringin rindang bertugu. Tempat yang masih belum banyak ter-renovasi hanyalah tempat-tempat itu. Tapi itulah yang menyenangkan, dari bersantai di tempat-tempat tersebut di jam-jam yang kosong serta waktu istirahat.

Semakin banyak siswa yang datang, motor-motor di depan pos pemeriksaan semakin mengantri. Suara klakson tan-tin-tan-tin merobek telinga, yang sedari tadi penuh berbagai suara kendaraan bermotor serta bla dan bla pembicaraan orang. Makin pusing dia. Padahal masih pagi, tapi ingin rasanya ia cepat pulang.

“Happy Birthday!” Semua anggota keluarga 12 IPA 5 sudah berkumpul rupanya. Kenny terperanjat ke belakang. Kaget. Menerima surprise yang seharusnya tidak pernah diterima oleh orang tak berguna seperti dirinya.

Kue ulang tahun kecil­, mungil, sweet moccacino berlilinkan angka 17 terlihat begitu manis. Kualitas seperti itu pastilah kualitas Famansa Cakes, tempat membeli macam-macam tart cake berkualitas dan nikmat, serta dapat menikmati pemandangan yang dapat memanjakan indera penglihatan kaum Adam. SPG-nya yang cantik dan memakai thight uniform warna putih, plus rok di atas lutut. Sama ketatnya.

“Guys...kenapa harus surprise? Gua kan bukan apa-apanya kalian...gua ga berarti buat kalian...” nada yang tak mungkin bisa dibayangkan oleh keluarganya dan juga Marie keluar dari bibir Kenny. Di dalam kelas, di keluarganya yang kedua, Kenny merupakan pemuda yang lembut. Tapi terkadang, dia tetap gila.

“lu kan ketua geng, so...this just a little surprise from us...” dengan senyum merekah, semua anggota jajaran geng 12 IPA 5 begitu menghargai Kenny, yang telah menjadi Ketua bagi mereka. Tapi itu mungkin hanya motif lain. Kenny yakin, ini cara agar penderitaannya di kelas dianggap impas. Kadang ia tersiksa di tempat itu. Tapi, whatever.

0 komentar:

Posting Komentar